Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Memulai Penyelenggaraan PJJ

 


Pengalaman dalam Memulai Penyelenggaraan PJJ

 Pengalaman setiap negara dideskripsikan dengan fokus tahun awal berdirinya untuk memberikan inspirasi bagi Anda yang sedang merancang penyelenggaraan PJJ dilihat dari variasi pengambilan keputusan masing-masing pada tahap awal memulai penyelenggaraan PJJ. Maka analisis Perkembangan PJJ (2000-Sekarang) dan Rekomendasi Literatur pendukung.

Berikut adalah analisis perkembangan Pendidikan Jarak Jauh (PJJ) dari tahun 2000 hingga saat ini di sembilan negara (Botswana, Fiji, Filipina, India, Indonesia, Malaysia, Nigeria, Pakistan, dan Thailand), yang disajikan dalam kerangka waktu 5 tahunan.

 Bagian 1: Analisis Perkembangan PJJ Berdasarkan Era

Perkembangan PJJ di negara-negara ini tidak seragam; beberapa (seperti India dan Pakistan) sudah memiliki "Mega-Universities" berbasis PJJ sejak lama, sementara yang lain mengembangkannya seiring penetrasi teknologi.

Era 2000-2005: Fondasi, Cetak, dan E-Learning Awal

Era ini didominasi oleh model Universitas Terbuka (UT) generasi kedua dan ketiga, yang masih sangat bergantung pada materi cetak (modul), siaran radio/televisi, dan pusat tutorial tatap muka. Tema Utama: 

Konsolidasi universitas terbuka yang sudah ada dan eksperimen awal dengan web portal sederhana.

  • India & Pakistan: Allama Iqbal Open University (AIOU) di Pakistan dan Indira Gandhi National Open University (IGNOU) di India sudah menjadi "mega-universities" dengan jutaan mahasiswa. Fokus mereka adalah efisiensi distribusi materi cetak dan perluasan jangkauan regional.
  •  Indonesia: Universitas Terbuka (UT) mulai mentransformasi materi cetaknya ke dalam format digital (HTML) dan memperkenalkan tutorial online sederhana.
  •  Nigeria: National Open University of Nigeria (NOUN) diaktifkan kembali secara resmi pada tahun 2002 setelah lama nonaktif, menandai langkah besar bagi PJJ di Afrika Barat.
  • Fiji: Sebagai pusat bagi University of the South Pacific (USP), Fiji unik. USPNet (jaringan komunikasi satelit) sudah beroperasi sejak 1970-an, menjadikan Fiji pemimpin awal dalam PJJ berbasis teknologi untuk menjangkau negara-negara kepulauan Pasifik yang tersebar.
  • Malaysia, Thailand, Filipina: Mulai mengembangkan kerangka kerja e-learning nasional. Universitas konvensional mulai membuat Learning Management Systems (LMS) sederhana.

 

Era 2006-2010: Kebijakan TIK dan Perluasan Akses

Internet broadband mulai menyebar di perkotaan, mendorong pemerintah untuk membuat kebijakan TIK (Teknologi Informasi dan Komunikasi) nasional yang secara eksplisit memasukkan pendidikan. 

Tema Utama: Kebijakan nasional TIK, pertumbuhan pendaftaran PJJ, dan awal mula blended learning.

  • Malaysia: Kementerian Pendidikan Tinggi (MOHE) meluncurkan National e-Learning Policy (Dasar e-Pembelajaran Negara) pertama, mendorong semua universitas publik untuk mengadopsi blended learning.
  • Thailand: Meluncurkan proyek Thailand Cyber University (TCU) untuk mengagregasi konten digital dan kursus online dari berbagai universitas.
  • Filipina: University of the Philippines Open University (UPOU) memperkuat mandatnya sebagai pemimpin PJJ di negara tersebut.
  • Botswana: Mulai berinvestasi dalam infrastruktur TIK melalui kebijakan "Maitlamo" (2007). Botswana College of Distance and Open Learning (BOCODOL, sekarang menjadi Botswana Open University) menjadi pemain kunci.
  • Nigeria & Indonesia: Kesenjangan digital antara kota dan desa menjadi tantangan utama. NOUN di Nigeria mengalami pertumbuhan pendaftaran yang pesat.

 Era 2011-2015: Era Mobile Learning (M-Learning) dan Digitalisasi

Ledakan penggunaan ponsel pintar secara global mengubah lanskap PJJ. M-learning (pembelajaran seluler) menjadi solusi praktis di negara-negara dengan infrastruktur internet kabel yang buruk namun jangkauan seluler yang baik. 

Tema Utama: Pertumbuhan M-learning, PJJ mulai diadopsi oleh universitas konvensional (bukan hanya UT), dan awal mula MOOCs.

  •  India: Proyek NPTEL (National Programme on Technology Enhanced Learning) mulai populer, menyediakan ribuan video kuliah berkualitas tinggi secara gratis, menjadi cikal bakal platform MOOCs SWAYAM.
  • Pakistan: Inisiatif M-learning mulai bermunculan, memanfaatkan tingginya penetrasi ponsel untuk menyampaikan konten pendidikan.
  • Indonesia: Universitas konvensional (negeri dan swasta) mulai gencar membuka program PJJ penuh (di luar UT).
  • Malaysia: Menjadi salah satu negara pertama di Asia yang meluncurkan platform MOOCs nasional sendiri pada tahun 2014 (Malaysian MOOCs).
  • Fiji (USP): Mulai mengintegrasikan M-learning untuk melengkapi jaringan satelit USPNet mereka.

Era 2016-2020: Pematangan MOOCs dan Transformasi Digital (Pra-Pandemi)

Infrastruktur 4G menyebar lebih luas. Platform MOOCs nasional menjadi matang dan fokus beralih dari sekadar "akses" ke "kualitas" PJJ. 

Tema Utama: Adopsi MOOCs secara masif, peningkatan kualitas PJJ, dan penjaminan mutu.

  • India: Meluncurkan platform SWAYAM secara besar-besaran, sebuah platform MOOCs nasional yang ambisius dan terintegrasi dengan sistem kredit akademik.
  • Indonesia: Kemendikbud mulai mengembangkan platform pembelajaran daring (seperti SPADA/ID-REN) untuk berbagi mata kuliah antar universitas.
  • Filipina: Komisi Pendidikan Tinggi (CHED) merilis serangkaian memorandum yang mengatur Open and Distance e-Learning (ODeL) secara lebih ketat, fokus pada penjaminan mutu.
  •  Botswana: BOCODOL bertransformasi menjadi Botswana Open University (BOU) pada 2017, menunjukkan peningkatan status dan fokus pada PJJ.

Tahun 2020: Pandemi COVID-19 dimulai. Semua negara ini terpaksa melakukan Emergency Remote Teaching (ERT). Ini bukanlah PJJ yang terencana, tetapi sebuah respons darurat yang mengekspos kesenjangan digital secara brutal di semua 9 negara.

Era 2021-Sekarang: Akselerasi Pasca-Pandemi, Hybrid, dan AI

Pandemi COVID-19 bertindak sebagai katalisator terbesar dalam sejarah PJJ, memaksa adopsi teknologi dalam skala yang tidak terbayangkan sebelumnya. 

Tema Utama: Transisi dari ERT ke PJJ/Hybrid yang berkelanjutan, fokus pada micro-credentials, lifelong learning, dan integrasi AI.

  • Semua Negara: Mengalami "lompatan digital". Investasi besar-besaran pada infrastruktur digital dan pelatihan guru/dosen.
  • Indonesia: Kebijakan Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) sangat bergantung pada platform digital, memungkinkan mahasiswa mengambil kursus dari universitas lain secara daring.
  • India: National Education Policy (NEP) 2020 memberikan dorongan besar pada PJJ dan pembelajaran digital sebagai inti dari reformasi pendidikan.
  • Nigeria, Pakistan, Botswana: Fokus bergeser pada cara membuat PJJ lebih tangguh (resilient) terhadap guncangan di masa depan, baik itu pandemi maupun krisis lainnya.
  • Thailand & Malaysia: Menjadi pemimpin regional dalam adopsi EdTech (Teknologi Pendidikan) dan mulai bereksperimen dengan micro-credentials dan AI dalam pendidikan.
  • Fiji (USP): Model PJJ mereka teruji tidak hanya oleh pandemi tetapi juga oleh bencana alam (seperti Topan Tropis), yang semakin memperkuat pentingnya model PJJ yang fleksibel dan tangguh.

Bagian 2: Tantangan Umum Lintas Negara

Meskipun perkembangannya berbeda, hampir semua negara ini menghadapi tantangan serupa:

  • Kesenjangan Digital: Perbedaan besar akses internet, listrik, dan perangkat antara wilayah perkotaan dan pedesaan.
  • Penjaminan Mutu: Memastikan kualitas PJJ setara dengan pendidikan tatap muka, termasuk masalah akreditasi dan pencegahan plagiarisme/kecurangan.
  • Literasi Digital: Kesiapan dosen untuk mengajar secara daring dan kesiapan mahasiswa untuk belajar mandiri.
  • Konten Lokal: Kebutuhan untuk mengembangkan materi PJJ yang relevan secara kontekstual dan bahasa (bukan hanya menerjemahkan konten dari luar).

Bagian 3: Rekomendasi Literatur Buku Teks Terbaru tentang PJJ

Berikut adalah beberapa buku teks dan referensi kunci terbaru yang diakui secara global mengenai PJJ dan dapat diakses (beberapa di antaranya memiliki bagian open access).

Judul: Handbook of Distance Education (4th Edition); Editor: Michael G. Moore & William C. Diehl- Tahun: 2019-Penerbit: Routledge. 

Mengapa Relevan: Ini adalah "kitab" standar dalam bidang PJJ. Edisi keempat ini mencakup teori, teknologi, dan administrasi PJJ modern. Meskipun tidak gratis, buku ini adalah referensi akademis paling komprehensif.

Judul: The SAGE Handbook of Online and Distance Education; Editor: J. Michael Spector, Barbara B. Lockee, & Marcus D. Childress Tahun: 2020 Penerbit: SAGE Publications

Mengapa Relevan: Sangat komprehensif, mencakup desain instruksional, teknologi baru (seperti learning analytics), dan perspektif global.

Judul: Open and Distance Learning in the Developing World (4th Edition) Editor: Hilary Perraton & Chris Tattersall (Edisi sebelumnya oleh Freda N. J. Gbolahan) Tahun: 2020 (diterbitkan kembali) Penerbit: Routledge

Mengapa Relevan: Buku ini secara spesifik membahas konteks PJJ di negara berkembang, sangat relevan untuk 9 negara yang Anda sebutkan. Buku ini membahas isu-isu seperti biaya, kebijakan, dan teknologi di lingkungan dengan sumber daya terbatas.

Judul: Educational Technology in the Developing World: A Practical Guide Editor: Robert B. Kozma Tahun: 2021 Penerbit: Springer (seringkali dapat diakses melalui perpustakaan universitas)

Mengapa Relevan: Fokus pada implementasi praktis teknologi pendidikan di negara berkembang, mencakup banyak studi kasus yang relevan.

Judul: Making Open Development Inclusive: Lessons from IDRC Research Editor: Matthew L. Smith & Ruhiya K. Suri Tahun: 2022 Penerbit: MIT Press (Tersedia Open Access / Gratis)

Mengapa Relevan: Meskipun lebih luas dari PJJ, buku ini memiliki bab-bab penting tentang Open Educational Resources (OER) dan inklusivitas digital di Global South (termasuk Asia dan Afrika), yang merupakan inti dari PJJ modern.

 

Desain Pembelajaran untuk PJJ

Bahan pembelajaran PJJ dikembangkan dengan mengikuti langkah-langkah desain pembelajaran yang pada langkah terakhir menghasilkan sistem pembelajaran. Di dalam sistem pembelajaran terdapat tiga komponen utama yaitu:

  • Bahan pembelajaran untuk digunakan oleh peserta didik dan pengajar
  • Panduan pembelajaran untuk peserta didik yang berisi petunjuk dalam melakukan kegiatan belajar
  • Pedoman pembelajaran bagi pengajar yang berisi bagaimana menggunakan bahan pembelajaran dan memfasilitasi peserta didik agar pembelajaran efektif dan efisien. 

10 Langkah Model Pengembangan Pembelajaran (Model Dick & Carey)

Model ini memandang desain pembelajaran sebagai sebuah sistem yang terdiri dari komponen-komponen yang saling berhubungan dan bekerja sama untuk mencapai tujuan pembelajaran. Setiap langkah dibangun di atas langkah sebelumnya, dan evaluasi formatif (langkah 8) memberikan umpan balik untuk merevisi langkah-langkah sebelumnya.

1. Menilai Kebutuhan untuk Merumuskan Tujuan Pembelajaran Umum

Deskripsi: Langkah ini adalah titik awal. Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi "kesenjangan" (gap) antara apa yang diharapkan (standar atau kompetensi ideal) dengan apa yang terjadi di lapangan (kemampuan peserta didik saat ini). Dari analisis kesenjangan inilah, kita merumuskan tujuan pembelajaran yang masih bersifat umum (general goals).

Contoh: Di sebuah perusahaan, banyak staf penjualan gagal mencapai target. Setelah dianalisis, kebutuhannya bukan pada motivasi, tetapi pada keterampilan negosiasi. Maka, tujuan umumnya adalah "Meningkatkan keterampilan negosiasi staf penjualan".

 2. Melakukan Analisis Pembelajaran (Instructional Analysis)

Deskripsi: Setelah tujuan umum ditetapkan, langkah ini memecah tujuan tersebut menjadi langkah-langkah atau keterampilan-keterampilan bawahan (sub-skills) yang harus dikuasai peserta didik. Ini seperti membuat peta jalan. Analisis ini menentukan apa yang harus dipelajari dan dalam urutan seperti apa.

Contoh: Untuk "Meningkatkan keterampilan negosiasi", langkah-langkahnya mungkin: 1. Mengidentifikasi kebutuhan klien, 2. Mempresentasikan solusi, 3. Menangani keberatan, 4. Menutup penjualan.

 3. Mengidentifikasi Kompetensi Awal dan Konteks

Deskripsi: Langkah ini berfokus pada dua hal:

Peserta Didik: Siapa mereka? Apa yang sudah mereka ketahui (kompetensi awal)? Apa gaya belajar mereka? Apa motivasi mereka?

Konteks: Di mana pembelajaran akan digunakan (konteks kinerja, misal: di lapangan, di depan klien) dan di mana pembelajaran akan berlangsung (konteks pembelajaran, misal: di kelas, online).

Contoh: Peserta didik adalah staf penjualan senior (sudah tahu produk, tapi kaku) dan akan belajar melalui simulasi online (konteks pembelajaran) untuk diterapkan saat bertemu klien (konteks kinerja).

 4. Merumuskan Tujuan Pembelajaran Khusus (Tujuan Kinerja)

Deskripsi: Ini adalah jantung dari model. Langkah ini mengambil hasil dari analisis pembelajaran (langkah 2) dan analisis peserta didik (langkah 3) untuk menulis tujuan yang sangat spesifik, terukur, dan dapat diamati (sering menggunakan format ABCD: Audience, Behavior, Condition, Degree).

Contoh: "Setelah mengikuti simulasi (Condition), staf penjualan (Audience) dapat mengidentifikasi (Behavior) minimal 3 keberatan umum dari klien dan memberikan respons yang tepat (Degree)".

 5. Mengembangkan Instrumen Penilaian (Assessment)

Deskripsi: Berdasarkan tujuan khusus (langkah 4), langkah ini adalah tentang membuat alat ukur (tes, kuis, rubrik penilaian, studi kasus, daftar periksa) untuk menilai apakah peserta didik telah mencapai tujuan tersebut. Penting bahwa instrumen ini dibuat sebelum materi dikembangkan, untuk memastikan keselarasan.

Contoh: Membuat studi kasus di mana peserta didik harus merespons email keberatan dari klien. Respons mereka akan dinilai menggunakan rubrik.

 6. Mengembangkan Strategi Pembelajaran

Deskripsi: Ini adalah "blueprint" atau rencana besar pembelajaran. Strategi ini menguraikan apa yang akan dilakukan sebelum, selama, dan setelah pembelajaran. Ini mencakup urutan penyampaian materi, metode yang digunakan (ceramah, diskusi, studi kasus), media, dan bagaimana mengelompokkan peserta didik.

Contoh: Strategi: 1. Pre-test, 2. Video pengantar, 3. Diskusi kelompok kecil, 4. Simulasi permainan peran, 5. Umpan balik instruktur, 6. Post-test.

 7. Mengembangkan dan Memilih Bahan Pembelajaran

Deskripsi: Berdasarkan strategi (langkah 6), di sinilah kita benar-benar membuat atau memilih "produk" pembelajarannya. Ini bisa berupa penulisan modul, pembuatan slide presentasi, perekaman video, pengembangan e-learning, atau pemilihan buku teks yang sudah ada.

Contoh: Membuat video tutorial "Cara Menangani Keberatan", menulis panduan "Checklist Negosiasi", dan mendesain skenario untuk simulasi permainan peran.

 8. Mendesain dan Mengimplementasikan Evaluasi Formatif

Deskripsi: Ini adalah proses uji coba internal untuk mendapatkan umpan balik. Tujuannya adalah menemukan kelemahan dalam draf pembelajaran sebelum dirilis secara luas. Biasanya melibatkan tiga tahap:

  • Uji Coba Perorangan: Dengan 1-3 peserta didik untuk melihat reaksi awal.
  • Uji Coba Kelompok Kecil: Dengan 8-15 peserta didik untuk melihat efektivitas dalam seting kelompok.
  • Uji Coba Lapangan: Implementasi dalam situasi yang semirip mungkin dengan kondisi nyata.
Contoh: Melakukan simulasi pembelajaran dengan 5 staf penjualan baru dan mencatat di bagian mana mereka paling bingung atau materi mana yang tidak efektif.

 9. Merevisi Pembelajaran

Deskripsi: Berdasarkan data dan umpan balik dari evaluasi formatif (langkah 8), semua komponen pembelajaran (materi, strategi, penilaian) ditinjau dan diperbaiki. Langkah ini bersifat iteratif; setelah revisi, bisa jadi perlu dilakukan evaluasi formatif lagi untuk memastikan perbaikan tersebut berhasil.

Contoh: Umpan balik menunjukkan video terlalu panjang. Video tersebut kemudian diedit menjadi 3 klip yang lebih pendek dan fokus.

 10. Mendesain dan Melaksanakan Evaluasi Sumatif

Deskripsi: Ini adalah evaluasi akhir terhadap efektivitas program pembelajaran secara keseluruhan setelah program tersebut selesai diimplementasikan. Evaluasi ini tidak bertujuan untuk memperbaiki program (meskipun temuannya bisa digunakan untuk revisi besar), melainkan untuk menilai "nilai" atau "harga" dari program tersebut. Apakah program ini berhasil mencapai tujuan umumnya (dari langkah 1)? Apakah dampaknya sepadan dengan biayanya?

Contoh: Enam bulan setelah pelatihan, membandingkan data target penjualan antara staf yang ikut pelatihan dengan yang tidak.

 Sumber Relevan yang Dapat Diakses

Beberapa sumber utama dan pendukung yang relevan dengan model ini:

  1. Sumber Utama (Buku): Dick, W., Carey, L., & Carey, J. O. (2015). The Systematic Design of Instruction (8th ed.). Pearson.
  2. Deskripsi: Ini adalah buku "kitab suci" untuk model ini. Buku ini menjelaskan setiap langkah secara sangat rinci dengan contoh-contoh praktis. (Meskipun berbahasa Inggris, ini adalah sumber primer paling otoritatif).
  3.  Jurnal dan Artikel (Akses Terbuka/Gratis): PDF Penjelasan Model (Universitas Negeri Yogyakarta - UNY): Tautan: http://staffnew.uny.ac.id/upload/132309689/penelitian/Model+Dick+&+Carey.pdf
  4. Deskripsi: Ini adalah materi presentasi (slide) yang sangat baik dalam Bahasa Indonesia, menjelaskan 10 langkah model Dick & Carey secara visual dan ringkas. Sangat direkomendasikan untuk pemahaman cepat.
  5. Artikel Jurnal Penerapan (Contoh R&D): Tautan: https://journal.student.uny.ac.id/index.php/jep/article/view/10046 (Jurnal Edukasi Pervalia, UNY)
  6. Deskripsi: Contoh artikel penelitian yang menggunakan model Dick & Carey untuk mengembangkan e-module. Anda bisa melihat bagaimana langkah-langkah tersebut diterapkan dalam penelitian nyata.
  7. Artikel Jurnal Internasional (Gambaran Umum): Tautan: https://files.eric.ed.gov/fulltext/EJ1157121.pdf (ERIC - Educational Resources Information Center)
  8. Deskripsi: Artikel berjudul "The Dick and Carey Model: An Alternative for Designing Instruction". Artikel ini memberikan gambaran umum dan analisis model dalam bahasa Inggris yang mudah dipahami.
  9.  Sumber Konteks R&D Indonesia (Pembanding): Model R&D yang paling sering dikutip di Indonesia adalah model Borg & Gall, yang juga memiliki 10 langkah (namun langkah-langkahnya berbeda, lebih fokus pada proses penelitiannya, bukan desain pembelajarannya).
  10. Model Dick & Carey (yang Anda jabarkan) sering digunakan di dalam langkah "Pengembangan Produk" pada model Borg & Gall.

 

Penilaian Hasil Belajar dalam PJJ

Bahan pembelajaran yang didesain khusus untuk PJJ diharapkan dapat dipelajari secara mandiri dengan lebih mudah oleh peserta didik. Proses belajar mandiri peserta didik diarahkan pada pencapaian tujuan pembelajaran yang ditandai dengan pencapaian skor yang baik dalam hasil belajar. Tujuan pembelajaran yang diharapkan dicapai mengandung tiga kawasan penting yaitu kognitif, psikomotor, dan afektif. Pengukuran pencapaian tujuan pembelajaran tersebut menggunakan tes acuan patokan.

Tes yang digunakan untuk mengukur capaian tujuan pembelajaran harus memenuhi tiga kriteria yaitu validitas, reliabilitas, dan dapatnya digunakan. Validitas tes bersifat mutlak yang berarti hanya tes yang valid yang boleh digunakan. Reliabilitas tes dibutuhkan untuk menjamin stabilitas dan konsistensi hasil tes. Stabilitas berarti bila tes itu digunakan berkali-kali skor yang dicapai oleh peserta didik stabil pada setiap kali percobaan. Di samping itu reliabilitas tes mengandung arti konsistensi antara butir tes yang satu dengan yang lain. Bila tes itu dibelah dua menjadi butir-butir nomor ganjil dan nomor genap maka skor yang diperoleh peserta didik sama atau seimbang.

HUBUNGAN PENILAIAN HASIL BELAJAR DENGAN TUJUAN PEMBELAJARAN

Ada tiga konsep yang paling penting dalam penilaian tes hasil belajar yaitu validitas (validity), reliabilitas (reliability), dan dapatnya digunakan (usability).Validitas adalah konsep yang mengacu pada ketepatan satu set tes dalam mengukur tujuan pembelajaran yang dimaksudkan untuk diukur. Tes yang tidak mengukur pengetahuan, keterampilan fisik, dan atau sikap yang terkandung dalam tujuan pembelajaran yang dimaksudkan untuk diukur dianggap tidak valid. Tes semacam itu tidak berharga untuk digunakan apalagi ditafsirkan hasilnya. Dengan kata lain bila tes yang telah dikembangkan oleh pendidik dinyatakan tidak valid maka harus diganti.

Reliabilitas adalah konsep yang menunjukkan konsistensi satu set tes dalam penilaian hasil belajar. Konsistensi tersebut dapat ditunjukkan dengan stabilitas atau konsistensi internal. Stabilitas tes ditunjukkan dengan kesamaan dua kali hasil pengukuran terhadap kemampuan atau kompetensi suatu kelompok peserta didik. Teknik pengukuran yang digunakan dikenal dengan istilah test-retest yang berarti pengukuran dilakukan dua kali dengan menggunakan satu set tes yang sama. Hasil dua kali pengukuran tersebut menunjukkan bahwa urutan skor yang diperoleh sekelompok peserta pada pengukuran pertama relatif tetap (stabil) bila dibandingkan dengan urutan skor hasil pengukuran kedua.

Konsistensi internal satu set tes ditunjukkan dengan skor yang diperoleh satu kelompok peserta untuk nomor-nomor butir tes ganjil sama atau relatif sama (konsisten) dengan skor yang diperoleh peserta tersebut untuk nomor-nomor butir tes genap. Secara internal satu set tes tersebut konsisten. Di samping valid dan reliabel, tes yang baik haruslah dapat digunakan atau praktis dan efisien untuk digunakan. Konsep kepraktisan suatu tes dilihat dari segi pengadministrasian penyelenggaraannya. Di dalamnya terkandung faktor ketepatgunaan teknologi yang digunakan, waktu yang dapat diterima secara rasional (rasionable), biaya yang tidak mahal, sesuai dengan kemampuan tenaga pelaksana, dan ketersediaan sarana prasarana pendukung. Dapat digunakannya suatu tes adalah faktor yang sangat penting dalam menentukan penggunaan suatu alat pengukuran, namun tidak boleh mengurangi validitas dan reliabilitasnya.

Penilaian hasil belajar dilakukan oleh penyelenggara pendidikan dengan empat maksud. 

Pertama, untuk memberikan informasi tentang capaian hasil belajar peserta didik dan peningkatan kualitas pembelajaran. Informasi tentang capaian hasil belajar sangat penting karena dapat berfungsi untuk memelihara dan meningkatkan motivasi belajar. Di samping itu informasi hasil belajar dapat memberikan petunjuk bagi pendidik untuk menentukan strategi pembelajaran lebih lanjut, yang sesuai dengan hasil belajar peserta didik. Informasi tentang hasil belajar dapat diikuti dengan interviu dan kuesioner untuk mendapatkan informasi tentang bagian mana dari pembelajaran itu yang memerlukan revisi dan bagaimana cara memperbaikinya. Penggunaan interviu dan kuesioner ini penting karena penggunaan tes saja hanya dapat menunjukkan bagian mana dari isi pembelajaran itu yang tidak dikuasai dengan baik oleh peserta didik namun tidak dapat menunjukkan faktor penyebabnya dan bagaimana cara memperbaikinya. Maksud penilaian hasil belajar yang diarahkan pada penentuan cara memperbaiki pembelajaran disebut tes formatif. Konsep tes formatif seperti ini jarang dilakukan. Biasanya pengajar hanya melakukan tes hasil belajar secara periodik namun tidak menyertai tindak lanjut dari hasil tes itu dengan penentuan cara memperbaiki proses pembelajaran selanjutnya.

Kedua, penilaian hasil belajar dilakukan untuk mengelompokkan peserta didik atas dasar tingkat penguasaan materi pembelajaran yang mengacu pada tujuan pembelajaran tertentu. Pengelompokan peserta didik ini penting bagi pengelolaan pembelajaran agar pada setiap kelompok terdapat peserta didik yang homogen dilihat dari tingkat penguasaan materi pembelajaran. Dengan cara seperti itu maka pendidik dapat menggunakan strategi pembelajaran yang sama untuk kelompoknya namun berbeda untuk kelompok yang lain. Strategi pembelajaran dikembangkan atas dasar kesesuaiannya dengan tingkat penguasaan peserta didik. Peserta didik yang mendapat nilai tinggi biasa disebut pandai atau cepat di dalam belajar. Untuk mereka dapat digunakan strategi pembelajaran yang sesuai dengan kecepatan belajar kelompok tersebut. Sebaliknya peserta didik yang mendapat nilai rendah biasanya dikategorikan sebagai kelompok yang kurang pandai atau lambat belajar. Mereka membutuhkan strategi pembelajaran yang berbeda dari kelompok yang pertama.

Ketiga, berdasarkan hasil penilaian terhadap pengetahuan, keterampilan fisik, dan atau sikap peserta didik dapat dibuat berbagai keputusan penting misalnya pemberian prioritas pembiayaan untuk kelompok yang paling lemah, pengelolaan waktu pembelajaran dari satu tahap ke tahap yang lain, dan penentuan strategi pembelajaran yang lebih tepat untuk tahap selanjutnya.

Keempat, penilaian hasil belajar secara periodik dapat memberikan umpan balik kepada pendidik dan peserta didik untuk kendali kualitas dan mengambil tanggung jawab masing-masing dalam pembelajaran. Dengan demikian efektivitas dan efisiensi pembelajaran dapat tercapai lebih maksimal.

KATEGORI ALAT PENILAIAN HASIL BELAJAR

Tes obyektif dapat berbentuk pilihan ganda (multiple choice), benar-salah (true-false), jawaban pendek (short answer), dan menjodohkan (matching). Jenis tes ini disebut obyektif karena hanya ada satu kemungkinan jawaban yang benar diantara beberapa pilihan jawaban. Siapapun yang menjadi pemeriksa hasil tes pasti mendapatkan skor yang sama yaitu jumlah jawaban yang benar. Tes obyektif sangat populer digunakan pada hampir seluruh bidang pengetahuan untuk mengukur penguasaan peserta didik dalam kawasan kognitif (berpikir). Tujuan pembelajaran dalam kawasan kognitif terdiri dari tujuh jenjang taksonomi, yaitu pengetahuan (knowledge), pemahaman (comprehension), penerapan (application), analisis (analysis), sintesis (synthesis), evaluasi (evaluation), dan kreativitas (creativity). Ketujuh jenjang taksonomi tersebut secara berturut-turut dikenal dengan singkatan C1, C2, C3, C4, C5, C6, dan C7. Huruf C menunjukkan singkatan dari Cognitive. Tes obyektif pada umumnya digunakan untuk penilaian hasil belajar peserta didik dalam jumlah yang sangat banyak, misalnya ratusan, ribuan, bahkan puluh ribuan. Dengan peserta yang berjumlah sebanyak itu penggunaan tes obyektif merupakan pilihan yang tepat, sepanjang dimaksudkan untuk mengukur kemampuan dalam kawasan kognitif. Itulah sebabnya penyelenggara PJJ banyak sekali menggunakan tes obyektif.

Tes karangan berbentuk kalimat pertanyaan untuk dijawab peserta didik dengan cara mengungkapkan jawaban atau idenya. Tes ini biasa digunakan untuk mengukur kemampuan peserta didik dalam mengekspresikan pikirannya secara original atau asli dari pikirannya sendiri. Ekspresi pikiran itu berbentuk rangkaian kalimat dan paragraf. Kemampuan yang diukur meliputi pengertian dan keterampilan berpikir tentang konsep, prinsip, dan prosedur baik secara abstrak maupun konkrit, realistik, dan kontekstual.

Berbeda dengan tes obyektif, hasil tes karangan dipengaruhi secara subyektif oleh pemeriksa karena tergantung pada pemahaman dan pertimbangannya. Untuk mengurangi tingkat subyektifitas ini, walau tidak mungkin meniadakan sama sekali, digunakan pointers yang berisi konsep-konsep kunci yang harus ada dalam jawaban ideal. Cara lain digunakan model jawaban, misalnya jawaban yang termasuk kategori sempurna, cukup, dan tidak dapat diterima. Jawaban peserta didik dibandingkan dengan pointers atau model jawaban. Usaha lain untuk mengurangi secara maksimal kadar subyektivitas ini digunakan beberapa penilai yang bekerja dalam satu tim. Nilai dari anggota tim dirata-ratakan untuk menjadi nilai akhir dari jawaban esei.

Chekclist adalah alat observasi untuk menilai kinerja (performance). Dalam satu checklist terdapat dua bagian yaitu rincian komponen kinerja, atau prosedur kerja yang akan dinilai dan skala nilai untuk menentukan kualitas setiap komponen. Untuk pelaksanaan penilaian kinerja dilengkapi rubrik yang mendeskripsikan secara lebih spesifik kriteria yang digunakan untuk menyatakan suatu kinerja itu berkualitas baik, sedang, atau buruk. Penilaian kinerja peserta didik tidak cukup dengan berfokus pada hasil akhirnya saja, tetapi juga untuk menilai kualitas proses pembelajaran. Untuk itu digunakan bobot dari setiap komponen proses pembelajaran. Penilaian kinerja peserta didik dapat menyangkut penilaian terhadap hasil penyelesaian tugas yang diberikan secara bertahap. Himpunan tugas-tugas tersebut berbentuk porto folio yang penilaiannya menggunakan rubrik.

Alat penilaian sikap berbentuk kuesioner dengan skala sikap (rating scales). Salah satu jenis rating scale yang paling populer adalah skala Likert ciptaan Rensis Likert (1932). Berbeda dengan alat penilaian yang disebutkan di atas, skala sikap tidak dapat digunakan untuk memberi angka terhadap hasil belajar individual peserta didik. Skala sikap dimaksudkan untuk memperoleh informasi tentang penilaian kelompok peserta secara bersama terhadap sifat suatu obyek atau keadaan. Informasi yang diperoleh mencerminkan pendapat, pikiran, dan perasaan semua peserta terhadap obyek yang dinilai dibandingkan dengan harapan atau standar ideal masing-masing. Sikap peserta didik terhadap pembelajaran yang diungkapkan setelah proses pembelajaran merupakan hasil belajar dalam kawasan afektif. Sikap itu dapat mencerminkan penilaian positif atau negatif terhadap pembelajaran yang sudah berlangsung dan motivasi untuk belajar lebih lanjut (motivation toward learning) tentang materi yang sudah dipelajarinya. Walaupun ungkapan tentang sikap tersebut tidak dapat digunakan untuk menilai hasil belajar peserta didik secara individual namun kalangan pendidik memandang hasil belajar tersebut merupakan hal yang tidak kalah pentingnya dibandingkan dengan hasil belajar individual dalam bidang kognitif dan kinerja yang di dalamnya termasuk psikomotor.

Berbagai bentuk skala sikap yang dapat digunakan antara lain Standard Rating Scale, Behaviorally Anchored Rating Scales (BARS), Numerical Rating Scale, Semantic Differential Scale, Graphic Rating Scale, dan Likert Rating Scales.


LANGKAH-LANGKAH PENILAIAN HASIL BELAJARA

Penilaian hasil belajar terdiri dari delapan langkah sebagai berikut.

  • Menentukan maksud penilaian misalnya penempatan peserta didik dalam kelompok pembelajaran, laporan kecenderungan nilai hasil belajar peserta didik dari waktu ke waktu, meningkatkan kualitas pembelajaran dengan mengkombinasikan hasil pembelajaran dengan kuesioner dan interviu atau menilai efektivitas pembelajaran melalui perbandingan antara sebelum dan sesudah pembelajaran, dan sebagainya.
  • Mengembangkan spesifikasi alat penilaian, atau kisi-kisi (blue print) yang di dalamnya tercantum jenis tes dan alat penilaian lain seperti skala sikap dan checklist.
  • Menulis butir tes dan alat penilaian lain seperti kuesioner, alat observasi, rubrik penilaian porto folio, dan sebagainya.
  • Merakit alat penilaian termasuk petunjuk cara menjawab tes.
  • Melaksanakan penilaian dengan menggunakan tes dan alat penilaian lain yang telah dikembangkan.
  • Memberi skor dan menafsirkan hasil penilaian.
  • Menulis laporan hasil penilaian.
  • Menggunakan hasil penilaian sesuai dengan maksud penilaian.

Tantangan teknis dalam penilaian hasil belajar yang menyangkut kinerja dialami oleh para penyelenggara baik PJJ maupun pendidikan tatap muka.

Pertama, tidak selalu mudah dalam menyediakan pengamat penilai yang mempunyai keahlian teknis. Untuk PJJ tantangan yang sama masih ditambah dengan kesulitan mendapatkan jumlah yang memadai untuk menjadi pengamat di sentra-sentra kegiatan praktikum yang banyak dan letaknya saling berjauhan.

Kedua, biaya penyelenggara observasi lebih mahal dibandingkan dengan penyelenggaraan penilaian hasil belajar dengan cara yang lain.

Ketiga, waktu penyelenggaraan observasi lebih lama karena membutuhkan ketelitian atau kejelian pengamat.

Tantangan teknis tersebut harus diatasi oleh penyelenggara pendidikan dan tidak dapat menghindarkannya dengan cara menggantikan alat penilaian tersebut dengan tes tertulis yang hanya menyangkut kawasan kognitif

Sumber :

Materi Pokok (BMP) TPEN4311 Teknologi Pendidikan Dalam Pendidikan Jarak Jauh- Prof. Dr. Atwi Suparman, M.Sc.

 SEMOGA BERMANFAAT

Posting Komentar untuk "Memulai Penyelenggaraan PJJ"